Sabtu, 20 Maret 2010

Menyimak "Mencari Pahlawan Indonesia" (by Arina Zuliany)




Perjuangan itu tak akan pernah ada habisnya. Begitu banyak gelombang euphoria dan ekstrapolasi dari setiap sendi perjalanan ini. Namun, memang tak dapat dipungkiri bahwa kehidupan tak selalu memberikan senyuman pada setiap relungnya. Terkadang kitalah yang harus menambahkan senyuman tersebut walau kenyataan begitu mengingini tangisan kita. Dalam keadaan yang benar-benar berkecamuk, dari dalam dan dari luar, begitu kita ingin semua ini segera selesai. Sedikit kehilangan kontrol atas setir yang kita pegang sendiri, sedikit terguncang di atas aspal panas yang kita jejaki saat ini, yang arahnya menuju kepada masa depan yang gemilang. Terkadang hal seperti ini menggerogoti semangat kita yang menggebu untuk maju. Sadarilah, bahwa kitalah sang pemegang kendali. Kita harus fokus pada tujuan, alih-alih fokus pada masalah.

Saya pun pernah terjebak dalam situasi penuh konflik dengan diri sendiri. Namun, di titik nadirnya, secara kebetulan, saya dipinjami sebuah buku oleh seorang saudara yang baik hatinya. Buku tersebut berjudul Mencari Pahlawan Indonesia karangan Anis Matta. Kata-katanya begitu lugas bertenaga, padat makna dan perenungan. Membaca buku tersebut, membuat saya paham jalan pikiran orang-orang yang berjuang tanpa kenal lelah, memikirkan masalah yang jauh dari dirinya sendiri, memikirkan masyarakat, memikirkan Indonesia, memikirkan peradaban dunia. Tulisan itu berusaha mengatakan bahwa tidak ada peradaban yang akan selamat dari kepunahan bila generasi mudanya begitu skeptis dan tak peduli. Kata-katanya menggambarkan keprihatinan mandalam akan nasib negeri ini bila tidak ada lagi pahlawan yang rela hadir dan datang untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan besar perdaban. Dan pahlawan itu benar-benar tidak akan hadir, bila kita tidak lekas sadar. Karena sang pahlawan itu adalah KITA. DIRI KITA SENDIRI.

Mirisnya, terkadang kita terlalu sibuk memikirkan masalah sepele dan menjadikan sang pahlawan menjadi melakolistis. Malu bila mengambil langkah yang penuh risiko, enggan untuk membuat terobosan, cenderung nyaman dengan terus berada di zona aman, terlalu takut melanggar konsensus.... Persis golongan tua yang anti inovasi.

Namun, poin pentingnya yang saya simak dari buku tersebut adalah buku itu ditulis untuk para lelaki. Buku itu menunjuk pada para pria.. Bukan perempuan. Perempuan diposisikan sebagai pendamping setia bagi sang pahlawan. Perempuan adalah sumber tenaga tak terhingga bagi laki-laki. Hmm.. Mungkin itu kesan yang muncul bila kita lihat sekilas, Saudara-saudara...

Adalah penting untuk kita sadari bahwa perempuan juga layak untuk menjadi seorang pahlawan. Dan di buku tersebut, perempuan yang baik justru menjadi pahlawan bagi seorang pahlawan. Dialah sumber energi kepahlawanan itu, dialah pencetak pahlawan itu. Dalam memahami buku tersebut saya pun tergelitik untuk ikut mendeklarasikan diri menjadi salah satu orang yang dicari dan dirindukan peradaban dunia. Perempuan bisa menambah pengetahuan dan pengalamannya terus, sehingga membentuk kematangan dan kedewasaan emosi yang baik serta berbekal ilmu yang berkah untuk dapat digunakan untuk mendidik para calon pahlawan nantinya. Untuk mencapai hal tersebut, tentunya perempuan harus melewati fase-fase penuh tantangan dan pembelajaran, bukannya dengan diam menanti takdir yang datang. Kemudian masih tetap enggan melahirkan dan mendidik pahlawan. Karena dirinya sendiri saja masih belum cukup matang untuk menyadari bahwa dirinya adalah seorang pahlawan dan bahkan darinya jualah para pahlawan berasal. Untuk itu, wahai saudari-saudariku, taklukkanlah tantangan dimana itu tampak mustahil bahkan bagi seorang laki-laki. Taklukkanlah tantangan itu dengan anggun, petiklah ilmunya, simpan untuk bekalmu nanti. Perempuan harus berani, agar dia dapat menularkan keberanian itu kepada perempuan lainnya, dan pada saatnya nanti dia akan menularkan keberanian itu pada anak laki-lakinya. Perempuan dengan gelar doktor atau profesor, misalnya, bukanlah sebuah larangan. Bayangkan bila anak Saudari nanti mendapatkan didikan pertama di masa emasnya langsung dari seorang doktor atau profesor...

Bagi para laki-laki dan perempuan, jadilah pahlawan sejati. Tumpahkanlah semua potensimu di koridornya masing-masing. Seorang pahlawan selalu bisa berdiri tegak ditengah badai yang berkecamuk, selalu tampak santai dalam kesibukannya, selalu tersenyum di tengah kesedihannya, dan selalu mampu menenangkan hati saudaranya bahkan ketika hatinya galau...

Tidak ada pahlawan yang meminta dirinya diakui sebagai seorang pahlawan... Namun, yang dapat kita lakukan adalah mengadopsi kisah-kisah kepahlawanan, dan melakukan yang terbaik tanpa mengharapkan pengakuan dan imbalan. Karena itulah esensi pahlawan sejati.

Nah, Saudara dan Saudariku yang dicintai Allah, siapa yang mau jadi PAHLAWAN SEJATI?
by: Arina Zuliany, bukan siapa-siapa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar