Jumat, 26 Maret 2010

Rekan-rekan IMAKAHI, bangun dan jaga hubungan baik dengan stakeholders kita…!

Pagi 26 Februari 2010,, saya diundang untuk mengisi sebuah acara yang bertajuk “GET SPIRIT GET SPONSORSHIP”, yang diadakan oleh BEM Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Secara garis besarnya saya diminta untuk menyampaiakan bagaimana cara menjalin kerjasama dan mendapatkan sponsorship untuk kegiatan-kegiatan mahasiswa/organisasi mahasiswa. Akhirnya materi saya buat 80% berdasarkan pengalaman saya selama kurang lebih 3,5 tahun ini aktif di lembaga kemahasiswaan, termasuk tentunya kegiatan-kegiatan terkait sponsorship dan kemitraan.
Rekan-rekan, VISI merupakan salah satu kegiatan yang saya nilai berhasil dengan misi kemitraannya. Sejauh ini juga VISI masih merupakan prestasi terbesar saya dalam menjalin kemitraan dan sponsorship. Materi yang saya sampaikan dalam acara “GET SPIRIT GET SPONSORSHIP” itu juga secara tidak langsung pernah saya sampaikan juga ke Manajemen VISI, dan hari ini saya coba menuliskannya untuk rekan-rekan semua.
Saya tidak akan berpanjang lebar karena kunci keberhasilan dari misi kemitraan VISI adalah kami mengoptimalkan sebuah hal kecil yang mungkin banyak dilupakan, adalah “The Power of Relationship”.
Ada beberapa pernyataan yang coba saya buat dan silakan pertanyakan kepada diri sendiri benar atau salahnya;
 Mahasiswa (yang membawa nama organisasi)cenderung mendekati “sumber keuangan”nya hanya ketika ia butuh
 (Mungkin) Ada hubungan baik yang sempat terbina, tapi selesai seiring dengan selesainya kegiatan yang digagas
 Beberapa kasus lebih parah lagi : tidak ada LPJ!
 Terjadi lose contact dengan Stakeholders terkait, minimal sampai kegiatan berikutnya (sampai butuh “dana” lagi)
 Memposisikan Stakeholders tidak semestinya (hanya sebagai “sumber keuangan” tambahan)
Benar atau tidak, tapi itulah yang banyak terjadi, yang juga banyak dikeluhkan, dan harus segera diluruskan!
Beberapa orang menyebutnya “The Law of Connection”, yaitu mengerti apa yang menjadi ‘modalities&sub-modalities of communication’ seseorang serta paham bagaimana untuk melakukan ‘pacing and leading’ body language dan membangun ‘rapport’ yang kuat dengan orang lain. Bahasa gampangnya: JAGALAH HUBUNGAN BAIK, karena itulah yang akan memunculkan yang namanya “The Power of Relationship”.
Rekan-rekan, kita (IMAKAHI) memiliki banyak sekali stakeholder di luar sana. Stakeholder peternakan dan kesehatan hewan khususnya. Baik itu institusi pemerintah seperti PEMDA masing-masing, maupun swasta, dan swasta veteriner. Apalagi di masing-masing wilayah kita; Aceh, Bogor, Jogja, Bali, Surabaya, Malang, dsb. Sekarang pertanyakan lagi, sejauh mana hubungan kita (IMAKAHI) dengan stakeholders yang ada? Masihkah kita menjalin hubungan baik dengan pihak-pihak yang pernah membantu kita?
Rekan-rekan, tidak perlu mahal atau ribet untuk menjaga hubungan baik. Kemajuan teknologi di abad ini sudah membuat jarak bukan halangan untuk bersilaturahmi. Contoh, minimal kirim sms untuk menanyakan kabar, atau mengucapkan selamat tahun baru misalnya. Kecil tapi berkelanjutan, untuk silaturahmi tetap terjaga. Karena, Kegiatan/sesuatu apapun yang continue(sustainable), walaupun sedikit tapi akan sangat berkesan. Sebaliknya kegiatan/apapun yang tidak continue (unsustainable), walaupun banyak dan besar tapi pengaruh dan kesuksesannya sangat kurang, bahkan akan hilang dimakan waktu. Yakinlah bahwa dengan menjaga hubungan baik, kita (personal/organisasi), akan banyak sekali mendapatkan manfaat, pun bisa memberikan manfaat.

Sabtu, 20 Maret 2010

Testimoni : Untuk para Pejuang Profesi

Ketika orang tertidur kamu terbangun itulah susahnya. Ketika orang merampas kamu membagi itulah peliknya. Ketika orang menikmati kamu menciptakan itulah rumitnya. Ketika orang mengadu kamu bertanggungjawab itulah repotnya. Makanya tidak banyak orang bersamamu disini, mendirikan imperium kebenaran.
Perlahan terkadang hak-hak pribadi tidak terpenuhi…jangan tanyakan kemana yang lain, jangan tanyakan kenapa kita sendiri, jangan mengingat apa yang kita dapat, jangan mengingat apa yang telah kita korbankan… Karena sesungguhnya Allah telah memilih diri kita. Maka tetaplah bersabar dan ikhlaslah… Bersyukurlah karena kita masih hidup seiring berkembangnya jalan ini, jalan yang mungkin pahit….karena surga Allah itu manis… Viva Vets!

Menyimak "Mencari Pahlawan Indonesia" (by Arina Zuliany)




Perjuangan itu tak akan pernah ada habisnya. Begitu banyak gelombang euphoria dan ekstrapolasi dari setiap sendi perjalanan ini. Namun, memang tak dapat dipungkiri bahwa kehidupan tak selalu memberikan senyuman pada setiap relungnya. Terkadang kitalah yang harus menambahkan senyuman tersebut walau kenyataan begitu mengingini tangisan kita. Dalam keadaan yang benar-benar berkecamuk, dari dalam dan dari luar, begitu kita ingin semua ini segera selesai. Sedikit kehilangan kontrol atas setir yang kita pegang sendiri, sedikit terguncang di atas aspal panas yang kita jejaki saat ini, yang arahnya menuju kepada masa depan yang gemilang. Terkadang hal seperti ini menggerogoti semangat kita yang menggebu untuk maju. Sadarilah, bahwa kitalah sang pemegang kendali. Kita harus fokus pada tujuan, alih-alih fokus pada masalah.

Saya pun pernah terjebak dalam situasi penuh konflik dengan diri sendiri. Namun, di titik nadirnya, secara kebetulan, saya dipinjami sebuah buku oleh seorang saudara yang baik hatinya. Buku tersebut berjudul Mencari Pahlawan Indonesia karangan Anis Matta. Kata-katanya begitu lugas bertenaga, padat makna dan perenungan. Membaca buku tersebut, membuat saya paham jalan pikiran orang-orang yang berjuang tanpa kenal lelah, memikirkan masalah yang jauh dari dirinya sendiri, memikirkan masyarakat, memikirkan Indonesia, memikirkan peradaban dunia. Tulisan itu berusaha mengatakan bahwa tidak ada peradaban yang akan selamat dari kepunahan bila generasi mudanya begitu skeptis dan tak peduli. Kata-katanya menggambarkan keprihatinan mandalam akan nasib negeri ini bila tidak ada lagi pahlawan yang rela hadir dan datang untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan besar perdaban. Dan pahlawan itu benar-benar tidak akan hadir, bila kita tidak lekas sadar. Karena sang pahlawan itu adalah KITA. DIRI KITA SENDIRI.

Mirisnya, terkadang kita terlalu sibuk memikirkan masalah sepele dan menjadikan sang pahlawan menjadi melakolistis. Malu bila mengambil langkah yang penuh risiko, enggan untuk membuat terobosan, cenderung nyaman dengan terus berada di zona aman, terlalu takut melanggar konsensus.... Persis golongan tua yang anti inovasi.

Namun, poin pentingnya yang saya simak dari buku tersebut adalah buku itu ditulis untuk para lelaki. Buku itu menunjuk pada para pria.. Bukan perempuan. Perempuan diposisikan sebagai pendamping setia bagi sang pahlawan. Perempuan adalah sumber tenaga tak terhingga bagi laki-laki. Hmm.. Mungkin itu kesan yang muncul bila kita lihat sekilas, Saudara-saudara...

Adalah penting untuk kita sadari bahwa perempuan juga layak untuk menjadi seorang pahlawan. Dan di buku tersebut, perempuan yang baik justru menjadi pahlawan bagi seorang pahlawan. Dialah sumber energi kepahlawanan itu, dialah pencetak pahlawan itu. Dalam memahami buku tersebut saya pun tergelitik untuk ikut mendeklarasikan diri menjadi salah satu orang yang dicari dan dirindukan peradaban dunia. Perempuan bisa menambah pengetahuan dan pengalamannya terus, sehingga membentuk kematangan dan kedewasaan emosi yang baik serta berbekal ilmu yang berkah untuk dapat digunakan untuk mendidik para calon pahlawan nantinya. Untuk mencapai hal tersebut, tentunya perempuan harus melewati fase-fase penuh tantangan dan pembelajaran, bukannya dengan diam menanti takdir yang datang. Kemudian masih tetap enggan melahirkan dan mendidik pahlawan. Karena dirinya sendiri saja masih belum cukup matang untuk menyadari bahwa dirinya adalah seorang pahlawan dan bahkan darinya jualah para pahlawan berasal. Untuk itu, wahai saudari-saudariku, taklukkanlah tantangan dimana itu tampak mustahil bahkan bagi seorang laki-laki. Taklukkanlah tantangan itu dengan anggun, petiklah ilmunya, simpan untuk bekalmu nanti. Perempuan harus berani, agar dia dapat menularkan keberanian itu kepada perempuan lainnya, dan pada saatnya nanti dia akan menularkan keberanian itu pada anak laki-lakinya. Perempuan dengan gelar doktor atau profesor, misalnya, bukanlah sebuah larangan. Bayangkan bila anak Saudari nanti mendapatkan didikan pertama di masa emasnya langsung dari seorang doktor atau profesor...

Bagi para laki-laki dan perempuan, jadilah pahlawan sejati. Tumpahkanlah semua potensimu di koridornya masing-masing. Seorang pahlawan selalu bisa berdiri tegak ditengah badai yang berkecamuk, selalu tampak santai dalam kesibukannya, selalu tersenyum di tengah kesedihannya, dan selalu mampu menenangkan hati saudaranya bahkan ketika hatinya galau...

Tidak ada pahlawan yang meminta dirinya diakui sebagai seorang pahlawan... Namun, yang dapat kita lakukan adalah mengadopsi kisah-kisah kepahlawanan, dan melakukan yang terbaik tanpa mengharapkan pengakuan dan imbalan. Karena itulah esensi pahlawan sejati.

Nah, Saudara dan Saudariku yang dicintai Allah, siapa yang mau jadi PAHLAWAN SEJATI?
by: Arina Zuliany, bukan siapa-siapa.

Selasa, 09 Maret 2010

KKNI : Menuju Profesi Veteriner yang Berciri Kuat

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjendikti), Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia telah mengundang semua wakil dari berbagai bidang ilmu yang termasuk dalam pertanian (pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, teknologi pertanian, dan kedokteran hewan) untuk bersama-sama menyusun KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) atau IQF (Indonesian Qualification Framework) yang akan menjadi Peraturan Presiden (Perpres) pada bulan Maret tahun 2010 ini.
KKNI adalah kerangka kualifikasi yang disepakati secara nasional, disusun berdasarkan suatu ukuran pencapaian proses pendidikan sebagai basis pengakuan terhadap hasil pendidikan seseorang (baik yang diperoleh secara formal, non formal, in formal, atau otodidak). Secara ringkas KKNI ini terdiri dari sembilan level kualifikasi akademik SDM Indonesia dan akan diresmikan dengan Peraturan Presiden.
Hal ini disambut gembira oleh fakultas-fakultas kedokteran hewan se-Indonesia. Selama ini profesi dokter hewan masih dianggap sama dengan teknisi kesehatan hewan. Dengan adanya penjenjangan ini, teknisi kesehatan hewan akan dibedakan dari profesi dokter hewan. Menurut Dekan FKH Universitas Airlangga, Prof. Hj. Romziah Sidik, Ph.D., drh., beliau mengatakan bahwa penjenjangan ini memperjelas status dokter hewan di Indonesia. Kelak, dengan adanya penjenjangan ini profesi dokter hewan diakui sama seperti profesi lain dengan tingkat pendidikan magister. “Ini kan sebagai pengakuan untuk skill yang dimiliki oleh para dokter hewan,” ujar Prof. Romziah.
Sistem penjenjangan kompetensi yang dibentuk oleh Depdiknas ini dimaksudkan untuk membedakan sistem penggajian, jenjang karir, dan sertifikasi profesi. Setiap tingkat pendidikan memiliki jenjang level. Misalnya lulusan D3 memiliki level 4, sementara lulusan sarjana memiliki level 6. Untuk profesi dokter hewan, dokter gigi, dan dokter umum memiliki jenjang level 7 atau sama dengan pendidikan magister. Diknas mengharuskan setiap bidang ilmu untuk menyusun sendiri jenjang-jenjang kompetensinya. Profesi kedokteran hewan juga memiliki kekhususan sendiri untuk penataan, dan penjenjangan tersebut ditentukan oleh Majelis Pendidikan Profesi Kedokteran Hewan (MP2KH).
Melalui KKNI yang nantinya diatur juga dalam Perpres akan ditegaskan bahwa tiap bidang ilmu tidak diatur “gambreng” walau serumpun, seperti yang terjadi di negara kita selama ini. Tetapi masing-masing melalui organisasi profesi bersama dengan institusi pendidikannya. Kedokteran Hewan memiliki kuasa penuh untuk menata sesuai versi dunia yang intelektual dan bercirikan medis. Jadi leveling profesi Kedokteran Hewan (Veteriner) tidak bisa diperbandingkan sama sekali dengan ilmu-ilmu pertanian lainnya, bahkan harus mengacu pada bidang Kedokteran saja.
Viva Veteriner,,,, semoga profesi Kedokteran Hewan di Indonesia menjadi berkibar dan berciri kuat, karena akan diatur dalam Peraturan Presiden.