Jumat, 03 Februari 2012
Perlunya Pendekatan ‘Manpower Planning’ Sedini Mungkin dalam Mendukung Perjuangan Profesi Veteriner
” Apabila kita menyerahkan sesuatu tidak kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”
Heboh ‘pencopotan’ drh. Prabowo dari jabatannya sebagai Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang baru berjalan selama satu tahun dan bukan tanpa prestasi. Selama beliau menjabat sebagai Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, berbagai masalah dan penyimpangan di subsektor peternakan terungkap ke permukaan dan menjadi perhatian publik. Masih jelas dalam ingatan, beberapa waktu yang lalu setelah disahkannya UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kita sepakat dan paham bahwasanya Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan merupakan cerminan dari pemegang kewenangan tertinggi di bidang Veteriner, atau Chief of Veterinary Officer (CVO) kalau menurut istilah dari World of Animal Health Organization (OIE). Lalu, apakah masih perlu dipertanyakan kalau pemegang kewenangan tertinggi tersebut harus seorang dokter hewan (veterinarian)? Jika masih ada pertanyaan seperti itu (apakah harus dokter hewan? .red), maka akan saya jawab dengan tegas; IYA, harus dokter hewan!.
Sayangnya yang terjadi di negeri ini tidak selalu seideal yang kita bayangkan. Penggantian drh. Prabowo sebagai CVO oleh orang non-vet bisa jadi sudah lama direncanakan oleh penguasa yang luar biasa deal politiknya, hanya saja ‘tertunda’ selama satu tahun. Mungkinkah seperti itu?Entahlah… Namun ketika saat ini pejabat Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan bukan seorang dengan latar belakang ‘Kesehatan Hewan’, atau katakanlah ‘Dokter Hewan’, maka pertanyaan yang muncul berikutnya adalah; Apakah akan ada bedanya di era ini?? Bayangkan saja, yang terjadi di era ini; lab keswan (kesehatan hewan) saja dipimpin oleh insinyur tanaman. Bahkan pada level menteri di kabinet saat ini misalnya, menteri pariwisata ngurusinnya tambang dan energi, sementara pertanian yang tanaman diurus oleh menteri ternak….(?). Sepertinya tidak berlaku istilah ‘the Right man in the Right place’ dalam konteks ini. Saya pun yakin kita juga sepakat dan paham bahwa jika kita menyerahkan sesuatu tidak kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.
Kembali menyoal CVO atau pun hal-hal lain yang berada dalam lingkar profesi Kedokteran Hewan, yang ingin saya bahas bukan soal politik atau mencari apa/siapa yang benar dan salah, melainkan sebuah instropeksi, atau sebut saja mencoba untuk (kembali) berfikir konstruktif dari dalam. Karena ketika, misalnya, kata dan substansi ‘politik’ itu dikesampingkan, maka bisa jadi pertanyaan yang kemudian muncul adalah; Apakah sudah tidak ada lagi dokter hewan yang berkompeten(the right man), sehingga lab keswan saja atau bahkan CVO dipegang oleh orang non-vet? Pekerjaan rumah PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia) serta tantangan bagi IMAKAHI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia) bertambah karena faktanya bidang kehewanan dan mekanisme perannya belum dipahami oleh masyarakat intelektual. Mencoba untuk survive dengan kekuatan sendiri memastikan perjuangan ini masih akan menempuh jalan yang sangat panjang. Perjuangan profesi yang tentunya tidak hanya ke luar tapi juga ke dalam, yakni membentuk ‘the right man’ karena sejatinya kepemimpinan itu dibentuk, bukan dilahirkan. Lalu kita dapat berkata, ”Put our right man in the right place!”.
Salah satu kuncinya adalah pendekatan ‘manpower planning’ atau perencanaan sumberdaya manusia (SDM) secara sistematis yang perlu dilakukan sedini mungkin. Melalui perencanaan SDM inilah dilakukan penetapan strategi untuk memperoleh, memanfaatkan, mengembangkan, dan mempertahankan SDM sesuai dengan kebutuhan profesi veteriner sekarang dan pengembangannya di masa depan. Diperlukan juga upaya untuk menilai dan menggali minat serta kompetensi generasi calon dokter hewan hingga memahami nilai-nilai(values) yang ada pada dirinya, kemudian disesuaikan dengan bidang pekerjaan yang tepat buatnya. Pengkaderan calon dokter hewan yang prospektif untuk diarahkan ke ranah birokrat atau pemegang kewenangan di lingkar pemerintah misalnya, tentu akan berbeda dengan pengkaderan calon dokter hewan klinik-kerumahsakitan atau swasta veteriner, dan lain sebagainya. Pendekatan ‘manpower planning’ membawa harapan profesi veteriner akan memiliki orang-orang yang tepat (the right man), baik secara kompetensi maupun jumlah, di berbagai lini atau bidang yang memang merupakan ranah kompetensi profesional dan kewenangannya.
Maka dari itu, pendekatan vertikal perjuangan profesi, khususnya yang dilakukan oleh PDHI, idealnya tidak hanya vertikal ke atas tetapi juga yang tidak kalah penting adalah vertikal ke bawah. Sekali lagi, karena investasi dokter hewan Indonesia yang didukung dengan perencanaan SDM (manpower planning) harus dilakukan sedini mungkin. Apalagi jika mahasiswa kedokteran hewan dianggap sebagai aset utama organisasi, yang akan meneruskan perjuangan profesi ini ke depannya, maka peran aktif PDHI dalam melakukan investasi serta ‘manpower planning’ dari para mahasiswa calon dokter hewan tersebut sangat diperlukan. Harus disadari bahwa profesi ini tidak hanya dianugerahi generasi penerus yang cerdas tetapi juga semakin bertambah secara kuantitas. Pendekatan ‘manpower planning’ melalui serangkaian seleksi, pelatihan, pembinaan, serta sharing knowledges dari para profesioanal dokter hewan di berbagai bidang akan mendukung perwujudan sebuah great system pengelolaan sumberdaya manusia calon dokter hewan ke depannya.
Akhirnya, terlepas dari permainan penguasa politik yang ada di era ini, kebangkitan Indonesia bukan suatu hal yang mustahil di masa yang akan datang. Jika dan hanya jika setiap bidang mampu membentuk “the right man”nya masing-masing melalui paradigma berfikir ini, lalu bersama-sama meneriakkan “Put our right man in the right place!”. Tidak akan lagi Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan atau CVO adalah orang non-vet, lab keswan dipimpin oleh insinyur tanaman, atau menteri pariwisata yang ngurusin tambang dan energi, serta pertanian yang tanaman diurus oleh menteri ternak. Tidak akan lagi tiap bidang ilmu itu diatur “gambreng” walau serumpun, seperti yang terjadi di negara kita selama ini. Tetapi masing-masing melalui organisasi profesi bersama dengan institusi pendidikannya. Semoga ini dapat menjadi harapan kita semua, untuk Indonesia yang lebih sehat dan bermartabat di masa yang akan datang. Viva vets!
*Mahasiswa PPDH angkatan II/2010 FKH-Institut Pertanian Bogor
co. founder Veterinary Integrity and Skill Improvement (VISI) Corp. IMAKAHI
e-mail: vet_arthur@yahoo.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar